1
Pernah seseorang bertanya kepadaku, "Siapa guru terbaik kamu?"
Bagiku, tidak ada di antara mereka yang buruk, guru terbaik adalah pengalaman. Ketika kita mengalami sendiri, menjadi lebih tahu bagaimana rasanya menjadi dia, bukan?
***
# Figur yang hilang
Beberapa orang terkadang memiliki arah mimpi yang pasti dalam mencapai keinginannya. Tidak hanya sekadar imipian tinggi, bahkan keinginan kesehariannya, "Ayah, aku ingin mainan itu. Ayah, itu apa? Aku ingin ke sana," seperti itu, misalnya. Walau tidak semua anak condong ke sosok ayah, namum peran ayah sangat besar dalam kehidupan dan tumbuh kembang anak, apalagi seorang perempuan.
Ya, aku tidak seperti itu. Sudah terbiasa sejak aku kecil. Figurnya hilang, ku anggap ia melekat dalam diri Ibuku. Ibu pahlawan luar biasa. Aku tidak tahu lagi harus berkata seperti apa. Ia mengurus semuanya, walau aku sering ditinggal dan diasuh oleh saudara ibuku, juga terkadang nenek. Pernah saat kecil, temanku bertanya, "Yang mana ayahmu?" Karena sudah berpisah sejak aku bayi, jadi aku tidak tahu. Namun, ibuku bilang, aku cerdas. Aku menjawab begini, "Ayahku adalah Om J, Om P, Om W." Aku berkata begitu karena mereka lelaki hebat, kakaknya ibuku, yang ikut mengurusku ke manapun aku pergi. Aku ke alun-alun dengan mereka, naik sepeda dengan mereka, makan pun disuapi mereka. Oh, indahnya masa kecilku. Walau tidak sempurna.
# Tumbuh mengakar
Terkadang memang tidak terbiasa melakukan semuanya sendiri. Tetapi ini aku, yang sudah dibiasakan melakukan dan membuat keputusan sendiri sejak kecil. Aku tidak bisa memiliki keinginan keseharianku, seperti "Ayah, ayo kita ke pantai, berlibur ke sana." Tidak, karena aku tidak punya. Meminta ibuku? Terkadang iya, tapi aku sadar bahwa ibuku sangat sibuk. Jadi, aku terbiasa melaksanakan keinginanku sendiri. Semakin besar, tumbuh, dan besar, aku merasa bahwa terkadang melakukan semuanya sendiri membuatku berpikir, "hidup semestinya tidak seperti ini"... Kita butuh orang untuk menjadi sandaran, tempat cerita, dan pergi bersama sebagai bentuk sosialis yang dijalani. Kita butuh orang lain, untuk dimintai pendapat, gagasan mereka, dan wawasan yang mungkin akan membentuk diri kita menjadi lebih baik lagi. Dunia tidak berputar di sekeliling kamu, cobalah tengok ke kanan dan kiri, mereka butuh kamu, kamu butuh mereka. Begitulah, semestinya.
# Jangan katakan semuanya
Setelah ku lihat ke belakang, ternyata aku cukup membenci diriku yang dulu. Mengatakan semua hal yang aku tahu. Ketika pertama kali mengetahui perjalanan Rockefellers dan Rothschilds, semasa SMP, itu sudah 8 tahun yang lalu, aku merasa sepertinya aku pantas menjadi sejarawan. Hahaha... penguasa dunia satu ini luar biasa. Aku berlagak seperti aku mengetahui semuanya. Semakin aku tumbuh, ternyata itu tidak baik. Pernah ku baca sebuah buku, saat kamu mengetahui 100%, katakan bahwa kamu hanya mengetahui 60%. Mengapa? Pertama membaca, seperti, "Oh hanya seperti ini." Setelah aku mengalami, ternyata kalimat itu berdampak besar bagi sosialis kita. Namun, ketika mereka mengatakan sepenuhnya, ya 100%, mungkin mereka sepertiku yang dulu, anggaplah itu proses berkembangnya seseorang karena fase tumbuh setiap orang, tidak sama.
Ketika kita berbicara, seolah-olah baru mengetahui hal itu, aku selalu berpikir bahwa orang lain pasti ada yang lebih paham secara mendalam, selain kita. Hanya saja, dia diam. Aku selalu menganggap bahwa pemikiran itu dinamis, berpola namun memiliki alur yang berbeda, sesuai dengan bagaimana dia mendapat pengalaman dan insight baru. Pemikiran adalah hal luar biasa dari otak seseorang dalam melihat bagaimana dunia semestinya.
Apalagi ketika bertemu orang-orang hebat. Aku sangat bersyukur, sejak kecil dikelilingi bermacam manusia luar biasa yang kehidupannya tidak selalu indah. Peneliti, profesor, guru, dokter, ahli gizi, perawat, hakim, polisi, dan mahasiswa yang sedang berjuang untuk magister, juga doktoral. Mereka luar biasa. Itu menambahku berpikir bahwa lingkungan akan membentuk bagaimana kita hidup. Aku mendalami perjalanan hidupnya, lika-liku, dan keajaiban Tuhan yang mereka dapatkan.
# Tidak menjadi sembuh, justru membunuh
Tuhan selalu memiliki alasan untuk setiap hamba-Nya yang berduka. Ternyata, ketika aku berdoa dengan tulus, untuk menggeser keinginan utamaku lulus ujian pilihan satu di kampus negeri, menjadi, "Tolong sembuhkan ibuku, cukup ini operasi yang terakhir." Tuhan mengabulkannya. Senang, sungguh. Ia sudah tidak sakit, namun perlu menjalani kemoterapi pengobatan dalam 5 tahun ke depan.
Saat itu, aku menjadi tiba-tiba religius. Semua agar ibuku sembuh. Aku tidak bisa menangis di depannya, di rumah sakit, itu hanya akan memberatkannya dan membuat imunnya lemah. Di mana aku menangis? Ketika aku kembali ke kos-an, ya, Jogja. Di sana aku meluapkan semuanya dan berdoa kepada Tuhan.
Pikiran yang sehat adalah kunci utama kesehatan jasmani, juga rohani, selain obat, dan aktivitas, maksudku. Sayangnya, aku tidak. Dulu, iya, semua baik-baik saja. Sekarang, temanku adalah obatan keras, selain GERD sialan itu yang tak kunjung sembuh, ada depakote, depram, clozapin, semua itu teman baruku. GERD sialan sudah sejak lama, abaikan saja, sudah hafal siklusnya bagaimana ia menyerang dadaku hingga ke psikis, kata dokterku, itu lingkaran setan, susah.
Temanku baru, tiga itu. Membuatku tenang, imbasnya? Ya, pikiranku. Aku tidak pikun, hanya saja efeknya membuat otakku tidak bisa berpikir sehebat dulu. Terkadang, konslet itu muncul tiba-tiba, saat ujian bahkan. Apakah kau berpikir akan sejauh itu? Serumit itu siklusnya. Tuhan pasti mempunyai alasan karena menjadikanku seperti ini. Masih kucari. Belum usai.
Berlanjut bagian 2
Komentar
Posting Komentar